Senin, 28 Mei 2012

SEJARAH KOTA CIREBON

Semoga dengan kita mengenal sejarah kota Cirebon yang kita cintai menjadikan suatu kebanggaan sebagai Wong Cirebon dan tentunya kita bisa menghargai apa yang sudah diberikan para leluhur tanah Cirebon berikut catatan singkat semoga bermanfaat untuk anak cucu kita semua.

Asal kota Cirebon pada abad ke 14 dipantai utara Jawa Barat ada Desa nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng Bukit Amparan Jati.Muara Jati adalah pelabuhan nelayan kecil,penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh menempatkan seseorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng Tapa.Pelabuhan Muara Jati banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari luar diantaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat,yang diperdagangkannya adalah garam,hasil pertanian dan terasi.

Kemudian Ki Gedeng Tapa Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di Lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km,ke arah selatan dari Muara jati.Karena banyaknya Saudagar dan pedagang asing juga dari daerah-daerah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu dinamakan Caruban yang berarti Campuran kemudian berganti nama Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang ini.

Raja Pajajaran Prabu Siliwangi mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon.Daerahnya yang ada dibawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali disebelah Timur,Cigugur(Kuningan)sebelah Selatan,pegunungan Kromong disebelah Barat dan Junti(Indramayu)disebelah Utara.

Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang dengan gelar Cakrabumi,kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di Ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi,akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti,akibatnya Taja mengirim bala tentara,tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.

Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan Kerajaan Cirebon dengan memakai gelar Cakrabuana,karena Cakrabuana telah memeluk agama islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan Islam Cirebon,tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.

Semenjak itu Pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar,karena bertambahnya lalu lintasdari dan kearah pedalaman,menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tenggara.Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.

Pangeran CakraBuana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430M,yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.

Keraton Kasepuhan adalah Keraton termegah dan paling terawat di Cirebon,Makna disetiap sudut arsitektur Keraton ini pun terkenal paling bersejarah.Halam depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat Pendopo didalamnya.

Keraton ini memiliki musium yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan,salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu Kereta Singa Barong,karena ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 syawal untuk dimandikan.

Bagian dalam keraton ini dari bangunan utama yang berwarna putih.Di dalamnya terdapat ruang tamu,ruang tidur dan singgasana Raja.

Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh (Pangeran Mas Mochammadd Arifin II) cicit dari Kanjeng Sunan Gunung Jati,yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506,ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cairebon.Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati,sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I,sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati,ia wafat pada tahun1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua,nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.

Di depan Keraton Kasepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan Keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan.Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk,disebelah barat Keraton Kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para Wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Sedangkan disebelah timur Alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar-sekarang adalah pasar kasepuhan yang sangat terkenal dengan Pocinya,model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid sebelah Barat dan pasar disebelah Timur dan Alun-alun ditengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir,bahkan sampai sekarang model ini banyak diikuti oleh seluruh Kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu Gedung Pemerintahan terdapat alun-alun dan sebelah Baratnya terdapat Masjid.

Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat du buah Pendopo,disebelah Barat disebut Pancaratna yang dahlunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton,Lurah atau pada zaman sekarang disebut Pamong Praja,sedangkan Pendopo sebelah Timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira Keraton ketika diadakannya latihan Keprajuritan di Alun-alun.

Memasuki jalan komplek Keraton Kasepuhan disebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh disekelilingnya,bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah Lemah Duwur yaitu tanah yang tinggi,sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti komplek Candi pada zaman Majapahit,bangunan ini didirikan pada tahun 1529,pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah(Sunan Gunung Jati)

Dipelataran depan Siti Inggil terdapat Meja batu berbentuk segi empat untuk bersantai,bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-san,Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek taman Majapahit,disebelah Utara bernama  Gapura Adi sedangkan sebelah selatan bernama Gapura Banteng,dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.

Saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka=1529M)Tembok bagian utara Komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi,didinding tembok komplek Siti Inggil terdapat piring-piring dan porselen-porselen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745M.Didlam komplek Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri,bangunan utama yang terletak ditengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT.Bangunan disebelah ini merupakan tempat Sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman,bangunan disebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam,bangunan ini tempat para pengawal pribadi Sultan.Bangunan disebalah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat.,bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu,dibelakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan,sedangkan bangunan disebelah Mande pangiring adalah Mande Karasemen,tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan.Dibangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten(Gong Sakti),Gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha,selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambang dari kesuburan,Lingga yang berarti Laki-laki dan Yoni berarti Perempuan,bangunan ini berasal dari budaya Hindu dan diatas tembok sekeliling komplek Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari komplek Siti Inggil ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar